MAKALAH
MATA KULIAH FIQIH
MATA KULIAH FIQIH
PEMBAHASAN MUNAKAHAT
DISUSUN
OLEH
·
NURUL
SHIDIK 151300920
INSITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN
MAULANA HASANUDIN
SERANG
BANTEN
2015-2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan
adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki
dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dlan mendapatkan
keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan
akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum
Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal
konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian
menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan
diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba
kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan
diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih
munakahatatau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau
rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan
menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun
yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut,
pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui
lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaaku pada semua
makhluk-Nya, abik pada manusia, hewan, maupun pada tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
salah satu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya
untuk berkembang biak, dan melerestarikan hidupnya.Nikah, menurut bahasa: al-jam’u
dan al-dhamu yang artinya kumpul. Maka nikah (Zawaj) bisa
diartikan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah.
Beberapa penulis
juga terkadang menyebut pernikahan dengan perkawinan. Secara bahasa :
kumpulan, bersetubuh, akad secara syar’i : dihalalkannya
seoranglelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan
seksual, dll.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
” Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi,
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka
(kawinilah) seorang saja .” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu
untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil
didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain
yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan
poligami dengan syarat - syarat tertentu.
B. RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Pernikahan yang
didalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya
persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:
1.
Mempelai laki-laki
2.
Mempelai perempuan
3.
Wali
4.
Dua orang saksi
5.
Sighat Ijab Kabul
Dari lima rukun nikah
tersebut yang paling penting adalah Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan
menerima akad sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah syarat
yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai,
wali, saksi, dan Ijab Kabul;
SYARAT-SYARAT SUAMI
1.
Bukan mahrom dari calon
istri
2.
Tidak terpaksa/atas
kemauan sendiri
3.
Jelas orangnya
4.
Tidak sedang ihram
SYARAT-SYARAT ISTRI
1.
Tidak ada halangan
syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahrom, tidak sedang dalam masa iddah
2.
Merdeka, atas kemauan
sendiri
3.
Jelas orangnya
4.
Tidak sedang ihram
SYARAT-SYARAT WALI
1.
Laki-laki
2.
Baligh
3.
Waras akalnya
4.
Adil
5.
Tidak sedang ihram
SYARAT-SYARAT SAKSI
1.
Laki-laki
2.
Baligh
3.
Waras akalnya
4.
Adil
5.
Dapat melihat dan
mendengar
6.
Bebas tidak dipaksa
7.
Tidak sedang
mengerjakan ihram
8.
Memahami bahasa yang
digunakan untuk Ijab Kabul
SYARAT-SYARAT SIGHAT
Hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang
melakukan akad, penerima akad, dan saksi. Sighat hendaknya mempergunakan
ucapan yang menunjukan waktu akad dan saksi.
Dari uraian diatas
menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinanyang tidak dapat memenuhi syarat
dan rukunnya menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum.
B. PERWALIAN DIDALAM PERNIKAHAN
Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu
rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu
perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).Selain itu
mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita
biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih
, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan
ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya
tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini
benar-benar tercapai dengan sempurna
Imam Hanafi
dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi) Mereka
berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai
hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat
dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa,
berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut
syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut
kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda) diberikan
hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain
dalam urusan pernikahannya.Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah
nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak
sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
MACAM MACAM WALI
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1. WALI NASAB; Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari
keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya
adalah sebagai berikut:
a. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
b. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
c. Saudara laki-laki sebapak
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
f. Paman (saudara dari bapak) kandung
g. Paman (saudara dari bapak) sebapak
h. Anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman sebapak.
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.
2. WALI HAKIM; Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim
dapat menggantikan wali nasab apabila:
Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
1. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
2. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang
wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
3. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful
qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
4. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak
boleh dijumpai.
5. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
6. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
7. Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang
ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. WALI MUHAKKAM; Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh
kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang
terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan
luas, adil, islam dan laki-laki.
C. AL-MUHARROMAT
Mahram
Muabbad
Keharaman
selamanya di sebabkan oleh tiga jenis hubungan, yaitu: Hubungan nasab, hubungan
menyusui (radha), dan hubungan pernikahan (mushahara).
Mengenai
ketiga hal di atas, Allah swt. Berfirman yang Artinya: Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Berikut
ini rincian masing-masing sebab di atas
a. Pengharaman Karena Hubungan Nasab
1. Ibu, adalah
perempuan yang mengandung dan melahirkan laki-laki tadi, hubungan antara ibu
dan anak inilah yang menyebabkan adanya ikatan mahram.
2. Anak Perempuan, adalah
anak yang dilahirkan oleh istri maupun keturunan laki-laki tadi.
3. Saudara Perempuan, adalah
perempuan yang lahir dari orang tua yang sama, baik dari pihak ayah dan ibu
maupun dari salah satu di antara keduanya.
4. Amah, adalah
bibi dari pihak ayah, perempuan yang menjadi saudara kandung ayah, atau saudara
perempuan ayah dari keturunan salah satu orang tua ayah.
5. Khalah, adalah
bibi dari pihak ibu, perempuan yang menjadi saudara kandung ibu, atau saudara
kandung perempuan dari keturunan salah satu keturunan ibu.
6. Anak perempuan
dari saudara laki-laki (keponakan), adalah
anak perempuan dari saudara laki-laki, baik anak kandung maupun anak tiri.
7. Anak perempuan
dari saudara perempuan (keponakan), adalah
anak perempuan dari saudara perempuan, baik anak kandung maupun anak tiri.
b. Pengharaman karena hubungan pernikahan
1. Mertua perempuan, adalah
ibu dan nenek dari istri
2. Anak tiri, adalah
anak-anak yang di bawa oleh istri, yakni anak perempuannya istri dari hasil
perkawinan dengan suami yang pertama, hal ini apabila sudah melakukan
persetubuhan dengan istrinya, dan apabila belum di campuri, maka tidak berdosa
apabila di kawini.
3. Istri ayah /
suami ibu. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk
menikahi istri ayahnya, meskipun belum terjadi hubungan suami istri di antara
keduanya, bahkan apabila mereka telah bercerai pun, tetap tidak diperboleh kan
untuk menikahi bekas istri ayah / bekas suami ibu.
c. Pengharaman Karena Hubungan Persusuan
1. Ibu yang menyusui ke atas (nenek dan seterusnya) yang
dimaksud adalah ibu yang menyusui dan ibunya ibu, dari nasab maupun dari
persusan.
2. Anak perempuan yang di susui ke bawah, yaitu
anak perempuan yang di susui air susu istri yang seorang laki-laki yang
sebetulnya untuk anak kandung laki-laki itu.
3. Anak-anak perempuan dari bapak-ibu persusuan, yang di
maksud adalah saudara-saudara perempuan persusuan, anak-anak perempuan mereka
baik karena nasab maupun menyusui.
4. Tingkat pertama dari anak-anak kakek dan nenek
persusuan. Yang di maksud adalah saudara-saudara perempuan ayah dan
saudara-saudara perempuan ibu sepersusuan.
Mahram Muaqqad
1. Menikahi dua perempuan yang mahram.
2. Menikahi istri orang lain.
3. Status pernikahan perempuan ditalak tiga.
4. Hukum menikahi budak perempuan.
5. Menikahi perempuan yang berzina.
6. Menikahi perempuan yang pernah dituduh berzina.
7. Menikahi perempuan musyrik.
8. Menikahi perempuan ahlul kitab.
9. Menikahi perempuan shabi’ah.
10. Menikahi perempuan majusi.
11. Menikahi perempuan yang memiliki kitab suci selain
yahudi dan nasrani.
D. PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA
Perceraian dalam istilah ahli
fiqh di sebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan
membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan
dari berkumpul). Lalu kedua kata itu di pakai oleh para ahli fiqh sebagai
istilah, yang berarti perceraian antara suami istri.
Perkataan talak dalam ahli fiqh
mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti
umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami,
yang di tetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang dijatuhkan dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau
istri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang di
jatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian
antara suami-istri itu ada yang di sebabkan karena talak maka selanjutnya
istilah talak yang di maksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun islam tidak menyukai
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh di
laksanakan setiap saat yang di kehendaki. Perceraian walaupun di perbolehkan
tetapi agama islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang
bertentangan dengan asas-asas hukum islam.
TALAK
Menurut bahasa talak artinya menceraikan
atau melepaskan, sedangkan menurut istilah syara’ adalah melepaskan ikatan
perkawinan yang sah atau bubarnya hubungan perkawinan.
Syarat-syarat seorang suami yang sah
menjatuhkan talak ialah:
a. Berakal sehat
b. Telah baligh
c. Tidak karena paksaan
Para ahli fiqh sepakat bahwa sahnya
seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa / baligh dan atas kehendak
sendiri bukan terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan
talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang
terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak
boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para
ahli fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk
itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau
menjatuhkan talak hukumnya adalah tidak sah. Yang di maksud marah di sini ialah
marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang di katakannya hampit-hampir di
luar kesadarannya.
Syarat-syarat seorang istri supaya sah
di talak suaminya ialah:
a. Istri telah terikat dengan perkawinaan yang sah dengan
suaminya. Apabila akad nikahnya di ragukan kesahannya, maka istri itu tidak
dapat di talak oleh suaminya.
b. Istri harus dalam keadaan suci yang belum di campuri
suaminya dalam waktu suci itu.
c. Istri yang sedang hamil.
Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan / ucapan
yang diuacapkn oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada
istrinya. Sighat talak ini ada yang di ucapkan langsung. Seperti “saya jatuhkan
talak saya satu kepadamu”. Adapula yang di ucapkan secara sindiran (kinayah),
seperti “kembalilah ke orang tuamu” atau “ engkau telah aku lepaskan dari
padaku”. Ini di nyatakan sah apabila:
a. Ucapan suami itu di sertai niat menjatuhkan talak
kepada istrinya.
b. Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya
itu untuk menyatakan talak kepada istrinya.
Apabila ucapannya itu tidak bermaksud
untuk menjatuhkan talak kepada istrinya maka sighat talak yang demikian tadi
tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang
jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munzis”) dan
ada yang jatuh setelah syarat-syaratnya dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”)
MACAM-MACAM TALAK
1. Talak Raj’i adalah talak, di mana suami boleh
merujuk istrinya pada waktu iddah. Talak Raj’i ialah talak satu atau talak
dua yang tidak di sertai uang ‘iwald dari pihak istri.
2. Talak Ba’in ialah talak satu atau dua yang di sertai
dua ‘iwald dari pihak istri, talak ba’in seperti ini di sebut talak ba’in
kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh kembali istrinya dalam masa
iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas istrinya kembali harus dengan
perkawinan batu yaitu dengan melaksanakan akad nikah. Di samping talak ba’in
kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang
telah di jatuhkan oleh suami. Talak ba’in besar ini mengakibatkan si suami
tidak boleh merujuk atau mengawini kembali istrinya baik dalam masa ‘iddah
maupun sesudah masa ‘iddah habis. Sorang suami yang mentalak ba’in besar
istrinya boleh mengawini istrinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
·
Istrinya
telah kawin dengan laki-laki lain.
·
Istrinya
telah di campuri oleh suaminya yang baru.
·
Istrinya
telah di cerai oleh suaminya yang baru.
·
Telah
habis masa ‘iddahnya.
3. Talak Sunni, ialah talak yang di jatuhkan mengikuti
ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni
ialah talak yang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci dan belum
di campuri dan pada saat istri sedang hamil. Sepakat para ahli fiqh,
hukumnya talak suami adalah halal.
4. Talak bid’i, ialah talak yang di jatuhkan dengan tidak
mengikuti ketentuan Al-Qur’an maupun Sunah Rasul. Hukumnya talak
bid’i ialah:
·
Talak
yang di jatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang bulan.
·
Talak
yang di jatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci
tetapi suaminyatelah menyetubuhinya.
·
Talak
yang di jatuhkan sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak
istrinya untuk selama-lamanya.
KEMATIAN
Putusnya perkawinan dapat pula
disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak,
maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak
dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi istri yang kematian
suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si
istri harus menunggu masa idahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan
pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah
adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia
sebagai makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum
nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah
menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia
(prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.